Prof.
Dr. Rochmat Soemitro(R. Santoso Brotodiharjo,1993, p.5-6) menjelaskan pajak itu
adalah iuran rakyat kepada Negara (peralihan kekayaan dari sector particulir ke
sector pemerintah berdasarkan
undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa tombal balik (tegen
prestise) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum. Dan disempurnakan
pengertiannya yaitu pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiyai pengeluaran rutin dan ‘surplusnya’ digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
pengertiannya yaitu pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiyai pengeluaran rutin dan ‘surplusnya’ digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Dan dari
definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang cirri-ciri yang melekat pada
pengrtian pajak:
1. Pajak
dipungut oleh Negara (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah), berdasrkan
kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya.
2. Dalam
pembayaran pajak-pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individu
oleh pemrintah atau tidak ada hubungan langsung antra jumlah pembayaran pajak
dengan kontra prestasi secara individu.
3. Penyelenggaraan
pemerintah secara umum merupakan kontra prestasi dari Negara.
4. Diperuntukkan
bagi pengeluaran rutin pemerintah jika masih ada surplus digunakan untuk
“public investment”
5. Pajak
dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.
6. Pajak
dapa pula mempunyai tujuan yang tidak budgettair yaitu mengatur
Pada dasarnya
fungsi pajak adalah sebagai sumber keuangan Negara. Namun ada fungsi lainnya
yang tidak kalah pentingnya, yaitu:
1. Sumber
Keuangan Negara (Budgetair)
Fungsi sumber keuangan
Negara fungsi pajak untuk memasukkan uang ke kas negara atau dengan kata lain
fungsi pajak sebagai sumber penerimaan Negara dan digunakan untuk pengeluaran Negara
baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Negara seperti halnya
rumah tangga memerlukan sumber-sumber keuangan untk membiayai kelanjutan
hidupnya. Dalam keluarga sumber keuangan dapat berupa gaji atau upah tapi bagi
suatu Negara keuangan yang utama adalah pajak dan retribusi. Disamping itu
Negara mempunyai sumber penrimaan lain sebagai berikut:
a. Hasil
pengolahan bumi,air dan kekayaan alam
b. Keuntunagan
dari perusahaan Negara baik persero, perum, perjan
c. Denda-denda
ataqu penyitaaan barang
d. Penerimaan
dari dapartemen-dapartemen yang bersifat nontax yang diterima atas pelayanan
terhadap masyarakat
e. Pinjaman-pinjaman
atau bantuan-bantuan baik dari luar negri maupun dala negri
f. Pencetakan
uang,hadiah-hadiah atau hibah maupun hasil pengelolaan kekayaan negara lainnya
Sedangkan suber
pendapatan lain selain pajak menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 pasal 2 adalah sebagai
berikut:
a. Penerimaan
yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah, misalnya penerimaan jasa giro
b. Penerimaan
dan pemanfaatan sumber daya alam, misalnya royalty dalam perikanan
c. Penerimaan
dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, misalnya dividen,
bagian laba pemerintah
d. Penerimaaan
dan kegiatan lainnya yang dulaksanakan oleh pemerintah, misalnya pelayanan
peniddikan, pelayanan kesehatan
e. Penerimaan
berdasarkan putusan pengadilan, misalnya lelang barang rampasan Negara
f. Penerimaan
Negara berupa hibah dan sumbangan dari dalam maupun dari luar
g. Penerimaan
lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri
2. Fungsi
mengatur atau Non Budgetair (Fungsi Regularend)
Pada funsi
mengatur, pemungutan pajak digunakan:
a. Sebagai
alat untuk melaksankan kebijakan Negara dalam bidang ekonomi dan social
b. Sebagai
alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan.
Beberapa contoh pemungutan pajak yang berfungsi mengatur:
a) Pemberlakuan
tariff progresif
b) Pemberlakuan
bea masukyang tinggi bagi barang impor denga tujuan untuk melindungi produksi
dalam negri
c) Pemberian
fasilitas tax holiday untk endorong para investor meningkatkan investasinya
d) Pengenaan jenis pajak tertentu dengan maksud untuk
mmenghambar gaya hidup mewah
e) Pembebasa
Pph atas sisa hsil usaha koperasi yang diperoleh sehubungan dengan kegiatan
usaha yang semata-mata dari dan untuk anggota
Pajak juga dipergunakan
sebagai alat untuk menentukan politik ekonomi. Tidak ada satupun Negara di
sunia ini menghendaki kehidupan masyarakatnya merosot. Oleh sebab itu politik
pemungutan pajak enurut R. Santoso (1993) seharusnya;
a. Jangan
sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan
b. Jangan
menghalangi rakyat dalam usahanya menuju kebahagiaan dan janagn sampi merugikan
kepentingan umum.
Asas
Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith ( Pencetus Teoir Four Maxim di buku "Wealth
of Nations” )
:
1.
Asas
Equality. Berarti asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan dan
didefinisikan bahwa pemungutan pajak yang dilakukan harus adil, sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak, tanpa memihak- mihak dan diskriminatif.
2.
Asas
Certainty. Adalah asas kepastian hokum dimana setiap pungutan pajak yang dilakukan
harus berdasarkan Undang Undang dan tidak boleh ada penyimpangan.
3.
Asas
Convinience of Payment ( Asas Kesenangan ). Asas ini disebut juga dengan asas
pemungutan pajak tepat wakti, yaitu pajak dipungut saat wajib pajak berada di
saat yang baik dan sedang bahagia, misalnya saat baru menerima penghasilan (
pajak penghasilan ) atau memperoleh hadiah ( pajak hadiah ).
4.
Asas
Eficiency. Yaitu biaya pemungutan pajak dilakukan seefisien mungkin sehingga
tidak terjadi biaya administrative pemungutan pajak lebih besar daripada
penerimaan pajak itu sendiri.
Asas Pemungutan Pajak Menurut
Adolf Wagner
a.
Asas
Politik Finansial. Berarti pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus
memadai sehingga dapat membiaya pembangunan dan mendorong perekonomian negara.
b.
Asas
Ekonomi. Asas ini mengemukakan bahwa penentuan objek pajak harus tepat sasaran,
seperti pada penetapan pajak pendapatan dan pajak barang mewah.
c.
Asas
Keadilan. Pemungutan pajak harus berlaku secara umum, adil dan tidak
diskriminatif.
d.
Asas
Administrasi. Mengatur segala permasalah yang berhubungan dengan perpajakan
seperti bagaimana cara membayar pajak, besar biaya pajak dan dimana tempat
membayar pajak.
e.
Asas
Yuridis. Yaitu segala pungutan pajak harus dilakukan berdasarkan Undang Undang.
Tarif pajak merupakan
angka atau persentase yang digunakan untuk menghitung jumlah pajak atau jumlah
pajak yang terutang. Ada 4 macam
tarif pajak, yaitu:
a) Tarif
sebanding/proporsional. Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun
jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional
terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh : Untuk penyerahan Barang
Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
sebesar 10%.
b) Tarif
tetap. Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh: Besarnya
tarif Bea Meterai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun
adalah Rp. 6.000,-
c) Tarif
progresif. Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar. Contoh : pasal 17 UU PPh 1995. Jenis Tarif Progresif, yaitu sebagai
berikut:
a.
Progresif-progresif;
semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka besarnya persentase pajak
yang dikenakan semakin meningkat dengan kenaikan persentase yang semakin
meningkat
b.
Progresif-tetap;
semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka persentase pajak yang
dikenakan semakin naik dengan kenaikan persentase yang tetap
c.
Progresif-degresif;
semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka persentase pajak yang
dikenakan semakin naik dengan kenaikan persentase yang semakin
menurun.
d)
Tarif
Degresif. Tarif dengan persentase yang semakin menurun apabila jumlah yang
menjadi dasar pengenaan pajak meningkat (naik)
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro,
SH, Hukum Pajak mempunyai kedudukan diantara hokum-hukum sebagai berikut :
- Hukum Perdata yaitu hokum yang mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
- Hukum Publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum public ini terdiri dari : Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha ( Hukum Administrasi ), Hukum Pajak dan Hukum Pidana.
Dengan demikian dapat kita ketahui
bahwa kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hokum public. Bila
didefinisikan Hukum Pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan
antara pemerintah dengan rakyat atau wajib pajak. Pemerintah sebagai
pemungut pajak dan wajib pajak atau rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum pajak
sering juga disebut dengan hukum fiscal ( Brotodihardjo,1986 ), karena istilah
pajak sering disamakan dengan istilah fiscal (yang artinya kantong uang /
keranjang uang yang selanjutnya disebut sebagai kas negara). Dari kata fiscal
tersebut maka pihak pemerintah sebagai pemungut dan mengadministrasikan pajak
disebut sebagai aparat pajak atau dalam bahasa latin disebut fiscus, dan dalam
bahasa Indonesiadisebut dengan fiskus. Hal-hal yang diatur
dalam hokum pajak antara lain meliputi : siapa subyek pajak atau wajib pajak,
apa kewajiban wajib pajak, apa hak negara/pemerintah, apa obyek yang dikenakan
pajak, berapa taripnya, bagaimana cara penagihan pajaknya, apa sanksi bila
tidak memenuhi kewajiban dan lain-lain. Hukum pajak menganut “ paham
imperative “ yang artinya bahwa pelaksanaan pemungutan pajak tidak dapat
ditunda. Misalnya terjadi pengajuan keberatan terhadap pajak yang telah
ditetapkan oleh pemerintah, sebelum ada keputusan dari Direktur Jenderal Pajak
tentang keberatan tersebut diterima, maka wajib pajak yang mengajukan keberatan
terlebih dahulu membayar pajak sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Hukum
Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak
dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yaitu:
a)
Hukum
pajak materil,
yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan,
peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan
pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu
tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah
dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan.
Hukum pajak materil, memuat norma-norma yang
menerangkan antara lain :
a.
Keadaan
b.
Perbuatan
c.
Peritiwa
hukum yang dikenai pajak (Objek pajak)
d.
Siapa
yang dikenakan pajak (Subjek pajak)
e.
Berapa
besar pajak yang dikenakan (Tarif)
f.
Segala
sesuatu yang timbul dan hapusnya utang pajak, hubungan hukum antara pemerintah
dan wajib pajak Contoh Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b)
Hukum
pajak formil, memuat
bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara
melaksanakan hukum pajak materil). Hukum iini memuat antara lain: Tata cara
penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
a.
Hak
fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan,
perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
b.
Kewajiban
Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib
Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
Ditinjau dari
cara pemungutannya, pajak dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Pajak
langsung, adalah pajak yang dibebankan harus ditanggung oleh wajib pajak
sendiri, dan tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: pajak penghasilan, PBB, pajak perseroan, pajak kekayaan,
pajak deviden, pajak bunga deposito, MPO, pajak
kendaraan bermotor, dan sebagainya.
b) Pajak
tidak langsung, adalah pajak yang pemungutannya dapat dialihkan kepada orang
lain. Contoh: pajak penjualan, cukai, pajak tontonan, bea materai, bea masuk,
pajak ekspor, pajak pertambahan nilai, bea balik nama, pajak iklan, dan
sebagainya.
Ditinjau dari obyek yang dikenakan
pajak, pajak dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a)
Pajak subyektif, adalah pajak yang
pemungutannya berdasar atas subyeknya (orangnya), keadaan diri pajak dapat
mempengaruhi jumlah yang harus dibayar. Ini bearti bahwa dalam diri subjek
pajak melekat status wajib pajak apakah ia maish bujangan atau sudah menikah atau memiliki
tanggungan yang erupakan beban yang
harus dipikul dari penghaislan yang diterimanya sebelum subjelk
pajaktersebut dinyatakan memenuhi syarat utnuk membayar pajak. Contoh: pajak penghasilan, pajak kekayaan,
dan sebagainya.
b)
Pajak obyektif, adalah pajak yang
pemungutannya berdasar atas obyeknya. Contoh: pajak kekayaan, bea masuk, bea
materai, pajak impor, pajak kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan, dan
sebagainya.
Ditinjau dari siapa yang memungut
pajak, jenis pajak dibagi menjadi dua, yaitu:
a)
Pajak negara, adalah pajak yang dipungut
oleh pemerintah pusat melalui aparatnya, yaitu dirjen pajak, kantor inspeksi
pajak yang tersebar di seluruh wilayah, dirjen bea dan cukai berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai
peneyelenggaran pemerintah dan pebangunan. Pajak yang dikelola oleh pemerintah
pusat adalah: pajak penghasila (PPH), pajak pertambahan nilai barang dan jasa
dan pajak penjualan barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan
(PBB), Bea Matrai (BM), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan.
b)
Pajak daerah (lokal), adalah pajak yang
dipungut oleh pemerintah daerah dan terbatas pada rakyat daerah itu sendiri,
baik yang dilakukan oleh pemda tingkat I maupun pemda tingkat II.
Berdasarkan undang-undang nomor 18
tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lembaran Negara nomor 41
tahun 1977 ditetapkan bahwa:
a. Pajak-pajak
daerah tingkat I terdiri dari:
a)
Pajak kendaraan bermotor (PKB)
b)
Bea balik nama kendraan bermotor (BBNKB)
c)
Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
(PBBKB)
b. Pajak-pajak
daerah tingkat II terdiri dari:
a)
Pajak hotel dan restoran
b)
Pajak hiburan
c)
Pajak reklame
d)
Pajak penerangan jalan
e)
Pajak pengambilan dan pengolahan bahan
galian golongan C
Timbulnya hutang pajak dalam hukum pajak terdapat dua
pendapat yaitu ajaran Materil dan Ajaran formil. Menurut ajaran material utang pajak timbul
karena undang-undang yang berlaku yaitu setelah adanya sebab-sebab yang
menyebabkan subjek pajak dikenakan pajak. Menurut ajaran formil utang pajak
timbul karena adanya surat ketetapan pajak yang dikeluakan oleh fiscus. Menurut
ajaran ini meskipun sudah dipenuhi adanya tatbestand namun belum ada surat
ketetpan pajak yang dikeluarkan oleh
fiscus maka belum ada hutang pajak. Hutang pajak timbul jika undang-undang yang
menjadi dasa pungutannya telah ada dan telah dipenuhi syarat-syarat subjek dan
syarat objektif, yang ditentukan oleh undang-undang secara bersama.
Syarat
objektif yang
dipenuhi apabila tatbestand yang disebut UU dipenuhi dapat berupa:
a) Perbuatan
b)
Keadaan
c)
Peristiwa
Saat timbulnya
hutang pajak mempunya peranan yang menentukan dalam:
a. Pembayaran/penagihan pajak
b.
Memasukkan
surat keberatan
c.
Penentuan
saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa
d.
Menerbitkan
surat ketetapan pajk kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan
Tindakan
penagihan pajak dapat dilakukan dengan 2 langkah sebagai berikut:
1. Penagihan secara pasif
a.
Penyerahan
SKPKB, SKPKBT, dan STP
b.
Apabila belum berhasil dengan menggunakan
surat tegaran
2.
Penagihan
secara aktif
Penagihan dengan menggunakan surat paksa dan dilanjutkan
dengan tagihan sita.
9.
PENAGIHAN
HUTANG PAJAK
Penagihan Pajak menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 adalah sebagai berikut: ”Serangkaian
tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak
dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.”
Langkah-langkah
penagihan penagihan pajak adalah sebagai berikut:
- Surat Teguran. Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat tujuh hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran Pajak.
- Surat Paksa. Utang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000. Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak.
- Surat Sita. Utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 100.000.
- Lelang. Dalam jangka waktu paling singkat empat belas hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat empat belas hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan. Catatan: Barang dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000 tidak harus diumumkan melalui media massa.
10. BEBERAPA KEWAJIBAN WAJIB PAJAK
Semua orang yang berdomisili di Indonesia dapat dijadikan sebagai subjek pajak, sedangkan yang berdomisli di luar negeri hanya dijadikan sebagai subjek pajak jika mempunyai hubungan ekonomi dengan Indonesia. Karenanya ada dua pengertian yakni kewajiban pajak subjektif dan kewajiban pajak objektif. Keduanya masing-masing baru merupakan kewajiban (secara principal) belaka. Jika seseorang sekaligus memenuhi kedua kewajiban itu, barulah ia dikenai pajak.
Prof Dr Hans Nawiaski(
R Santoso Brotodiharjo, 1993) mengemukakan tiga tahap yang dikenal dengan
istilah “Dreigtufigkeit”. Tiga tahap tersebut adalah:
1. Seseorang berkewajiban secara
subjektif (sama dengan berkewajiban dalam prinsip untuk membayar pajak). Ia
dapat dikenakan pajak karena misalnya ia berdomisili di Indonesia.
2.
Seseorang baru berkewajiban riil membayar pajak (yaitu
nyata-nyata dapat dikenakan pajak) setelah memenuhi semua persyaratan objektif.
3. Seseorang baru berhutang pajak
setelah disodori surat ketetapan pajak.
Sebagai contoh, orang
yang memiliki kewajiban subjektif adalah orang yang memenuhi persyaratan
tentang domisilinya yakni bertempat tinggal di Indonesia sehingga secara
prinsip dapat dikenakan pajak penghasilan (poin 1 diatas). Namun kewajiban
tersebut tidak otomatis, bahwa ia harus membayar pajak jika ia memenuhi
persyaratan objek tertentu yakni memiliki pendapatan ditas batas minimum,
barulah ia mempunyai kewajiban riil membayar pajak (poin 2).
1. Kewajiban pajak subjektif
Kewajiban
pajak subjektif adalah kewajiban yang melekat pada subjeknya pada umumnya
setiap orang yang bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban pajak
subjektif, anak, orang dewasa, wanita yang sudah kawin. Sedangkan untuk orang
di Luar Indonesia , kewajiban subjektif ada kalau mempunyai hubungan ekonomis
dengan Indonesia , misalnya mempunyai perusahaan di Indonesia.
Kewajiban
pajak subjektif dalam negeri untuk pajak penghasilan adalah:
Mulai : (1).
Pada waktu seseorang dilahirkan di wilayah Indonesia, dan (2) pada waktu
seseorang menetap di Indonesia
Berakhir :
(1) pada waktu seseorang tersebut meninggal dunia, dan (2) pada waktu seseorang
tersebut meninggalkan Negara Indonesia untuk selama-lamanya.
Kewajiban
pajak subjektif luar negeri adalah sebagai berikut
Mulai :
(1) Pada waktu seseorang dilahirkan di luar wilayah Indonesia dan mempunyai
hubungan ekonomis tertentu dengan Indonesia menurut Undang-Undang Pajak , dan
(2) pada waktu seseorang menetap di luar negeri serta mempunyai hubungan
ekonomis seperti diatas.
Berakhir
: (1) pada waktu hubungan ekonomis dengan Indonesia seperti disebut diatas
terputus atau berakhir, (2) pada waktu seseorang tersebut menetap di Indonesia,
dan (3) pada waktu seseorang tersebut meninggal dunia.
2. Kewajiban pajak objektif
Kewajiban
pajak objektif adalah kewajiban yang melekat pada objeknya, seseorang dapat
dikenakan kewajiban pajak objektif jika ia mendapat penghasilan atau mempunyai
kekayaan yang memenuhi syarat menurut Undang-Undang.
Sumber
: Buku Perpajakan (Pembahasan Berdasarkan UU dan Aturan Pajak Terbaru(, Oleh
Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein
11. PERADILAN DALAM BIDANG PAJAK
Peradilan pajak dalah upaya hukum
yang dilakukan oleh wajib pajak dalam rangka mencari keadilan terhadap
Ketetapan Pajak yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak atau Kepala Daerah.
Peradilan Pajak dapat dibagi menjadi dua jenis peradilan, yaitu peradilan murni
dan peradilan tidak murni. Penjelasanya adalah sebagai berikut :
1.
Peradilan
Murni. Peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu wajib pajak, fiskus dan
hakim yang mengadili. Wajib pajak dan fiskus adalah pihak yang bersengketa
sedangkan hakim atau majelis hakim antara pihak yang akan memutuskan sengketa
tersebut.
2.
Peradilan
Tidak Murni. Peradilan yang hanya melibatkan dua pihak, yaitu pihak wajib pajak
dan pihak fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang independen. Fiskus sebagai
pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam
perselisihan pajak yang bersangkutan.
Susunan
pengadilan pajak terdiri atas :
1. Pimpinan
2. Hakim
3. Sekretaris
Pemeriksaan
Sengketa Pajak
Pengadilan pajak sebagai pengadilan
pertama dan terakhir pemeriksaan sengketa pajak hanya dilakukan oleh pengadilan
pajak, sehingga putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan
kepengadilan umum, peradilan tatausaha Negara atau badan peradilan lain kecuali
putusan berupa “tidakdapatditerima” yang menyangkut kewenangan / kompetensi.
Keberatan
Dalam pelaksanaan peraturan
perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa wajib pajak merasa
kurang atau tidakpuas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan padanya atau
atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga .Keberatan diajukan kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak di tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar.
Banding
Pengertian banding adalah upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau penanggung pajak terhadap suatu
keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan perundangan pajak
yang berlaku. Keputusan dimaksudkan suatu penetapan tertulis di bidang
perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang berdasarkan peraturan
perundangan-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan UU Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
Pencabutan
Banding
Banding yang telah diajukan dengan
surat banding dapat diajukan pencabutan dengan surat penyataan pencabutan yang
diajukan kepada pengadilan pajak. Banding yang telah dicabut melalui penetapan
atau putusan diatas tidak dapat diajukan banding kembali.
Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum yang
dapat dilakukan oleh WP atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan
pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Gugatan yang telah dicabut melalui
penetapan atau putusan tidajk dapat diajukan kembali. Gugatan tidak menunda
atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan.
Pelaksanaan Persidangan
Dalam pelaksanaan persidangan, ketua menunjuk majelis yang
terdiri dari tiga orang hakim atau hakim tunggal untuk memeriksa dan mengurus
sengketa pajak. Apabila pemeriksaanya dilakukan oleh majelis, maka ketua
menunjuk salah seorang hakim tersebut sebagai hakim ketua yang memimpin
pemeriksaan sengketa pajak.Majelis atau hakim tunggal bersidang pada hari yang
ditentukan dan memberitahukan hari siding dimaksud kepada pihak yang
bersengketa. Pemohon banding atau penggugat dapat hadir dalam persidangan
dengan terlebih dahulu memberitahukan pada ketua untuk memberikan keterangan
lisan.
Pembuktian
Dalam hal pembuktian, pengadilan pajak menganut prinsip
pembuktian bebas. Majelis atau hakim tunggal sedapat mungkin
mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti
lain. Alat bukti tersebut dapat berupa :
1.
Surat
atau tulisan
2.
Keterangan
ahli, yaitu pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya
3.
Keterangan
parasaksi, dianggap sebagai barang bukti apabila keterangan itu berkenaan
dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi
4.
Pengakuan
para pihak, tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat
dan dapat diterima oleh majelis hakim atau hakim tunggal.
5.
Pengetahuan
hakim, yaitu hal yang diketahui dan diyakini kebenarannya
Putusan
Putusan pengadilan pajak diambil
berdasarkan hasil penilaian pembuktian dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan keyakinan
hakim. Putusan pengadilan pajak dapat berupa :
a) Menolak
b) Mengabulkan sebagian atau seluruhnya
c) Menambah pajak yang harus dibayar
d) Tidak dapat diterima
e) Membetulkan kesalahan teknis dan atau kesalahan
hitung
f) Membatalkan
Sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hokum tetap,
maka keputusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan kepengadilan umum,
peradilan tata usaha Negara, atau badan peradilan lain, kecuali putusan berupa
“tidak dapat diterima” yang menyangkut kewenangan / kompetensi.
Pelaksanaan
Putusan
Putusan Pengadilan Pajak ini langsung dapat dilaksanakan
dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali putusan
perundang-undangan mengatur lain. Apabila putusan dimaksud me nyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sebagai contoh putusan pengadilan pajak menyebabkan
Pajak Penghasilan menjadi lebih bayar. Dalam hal demikian kepada KPP masih
harus menerbitkan Surat Perintah membayar kelebihan pajak (SPMKP) yang
diperlukan pembayar pajak untuk dapat memperoleh kelebihan pajak.
Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian atau
seluruh banding, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2 persen sebulan untuk paling lama 24 bulan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaannya salinan putusan atau salinan penetapan
pengadilan pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh sekretaris dalam
jangka waktu 30 hari sejak tanggal putusan pengadilan pajak diucapkan, atau
dalam jangka waktu 7 hari sejak tanggal putusan diucapkan. Putusan pengadilan
pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 hari
terhitung sejak tanggal diterima putusan. Pejabat tidak melaksanakan putusan
pengadilan pajak dalam jangka waktu tersebut, dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan kepegawaian yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar