SELAMAT DATANG DI BLOG AKATSUKI TO KOIZORA=>Orang yang paling aku sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku. ~ Khalifah ‘Umar

Minggu, 13 April 2014

HUKUM PAJAK


Prof. Dr. Rochmat Soemitro(R. Santoso Brotodiharjo,1993, p.5-6) menjelaskan pajak itu adalah iuran rakyat kepada Negara (peralihan kekayaan dari sector particulir ke sector pemerintah  berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa tombal balik (tegen prestise) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Dan disempurnakan
pengertiannya yaitu pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiyai pengeluaran rutin dan ‘surplusnya’ digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Dan dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang cirri-ciri yang melekat pada pengrtian pajak:
1.      Pajak dipungut oleh Negara (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah), berdasrkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya.
2.      Dalam pembayaran pajak-pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individu oleh pemrintah atau tidak ada hubungan langsung antra jumlah pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individu.
3.      Penyelenggaraan pemerintah secara umum merupakan kontra prestasi dari Negara.
4.      Diperuntukkan bagi pengeluaran rutin pemerintah jika masih ada surplus digunakan untuk “public investment”
5.      Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.
6.      Pajak dapa pula mempunyai tujuan yang tidak budgettair yaitu mengatur





Pada dasarnya fungsi pajak adalah sebagai sumber keuangan Negara. Namun ada fungsi lainnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu:
1.      Sumber Keuangan Negara (Budgetair)
Fungsi sumber keuangan Negara fungsi pajak untuk memasukkan uang ke kas negara atau dengan kata lain fungsi pajak sebagai sumber penerimaan Negara dan digunakan untuk pengeluaran Negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Negara seperti halnya rumah tangga memerlukan sumber-sumber keuangan untk membiayai kelanjutan hidupnya. Dalam keluarga sumber keuangan dapat berupa gaji atau upah tapi bagi suatu Negara keuangan yang utama adalah pajak dan retribusi. Disamping itu Negara mempunyai sumber penrimaan lain sebagai berikut:
a.       Hasil pengolahan bumi,air dan kekayaan alam
b.      Keuntunagan dari perusahaan Negara baik persero, perum, perjan
c.       Denda-denda ataqu penyitaaan barang
d.      Penerimaan dari dapartemen-dapartemen yang bersifat nontax yang diterima atas pelayanan terhadap masyarakat
e.       Pinjaman-pinjaman atau bantuan-bantuan baik dari luar negri maupun dala negri
f.       Pencetakan uang,hadiah-hadiah atau hibah maupun hasil pengelolaan kekayaan negara lainnya

Sedangkan suber pendapatan lain selain pajak menurut Undang-undang  Nomor 20 tahun 1997 pasal 2 adalah sebagai berikut:
a.       Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah, misalnya penerimaan jasa giro
b.      Penerimaan dan pemanfaatan sumber daya alam, misalnya royalty dalam perikanan
c.       Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, misalnya dividen, bagian laba pemerintah
d.      Penerimaaan dan kegiatan lainnya yang dulaksanakan oleh pemerintah, misalnya pelayanan peniddikan, pelayanan kesehatan
e.       Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan, misalnya lelang barang rampasan Negara
f.       Penerimaan Negara berupa hibah dan sumbangan dari dalam maupun dari luar
g.      Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri

2.      Fungsi mengatur atau Non Budgetair (Fungsi Regularend)
Pada funsi mengatur, pemungutan pajak digunakan:
a.       Sebagai alat untuk melaksankan kebijakan Negara dalam bidang ekonomi dan social
b.      Sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Beberapa contoh pemungutan pajak yang berfungsi mengatur:
a)      Pemberlakuan tariff progresif
b)      Pemberlakuan bea masukyang tinggi bagi barang impor denga tujuan untuk melindungi produksi dalam negri
c)      Pemberian fasilitas tax holiday untk endorong para investor meningkatkan investasinya
d)     Pengenaan  jenis pajak tertentu dengan maksud untuk mmenghambar gaya hidup mewah
e)      Pembebasa Pph atas sisa hsil usaha koperasi yang diperoleh sehubungan dengan kegiatan usaha yang semata-mata dari dan untuk anggota

Pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik ekonomi. Tidak ada satupun Negara di sunia ini menghendaki kehidupan masyarakatnya merosot. Oleh sebab itu politik pemungutan pajak enurut R. Santoso (1993) seharusnya;
a.       Jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan
b.      Jangan menghalangi rakyat dalam usahanya menuju kebahagiaan dan janagn sampi merugikan kepentingan umum.






Asas Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith ( Pencetus Teoir Four Maxim di buku "Wealth of Nations” ) :
1.            Asas Equality. Berarti asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan dan didefinisikan bahwa pemungutan pajak yang dilakukan harus adil, sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak, tanpa memihak- mihak dan diskriminatif.
2.            Asas Certainty. Adalah asas kepastian hokum dimana setiap pungutan pajak yang dilakukan harus berdasarkan Undang Undang dan tidak boleh ada penyimpangan.
3.            Asas Convinience of Payment ( Asas Kesenangan ). Asas ini disebut juga dengan asas pemungutan pajak tepat wakti, yaitu pajak dipungut saat wajib pajak berada di saat yang baik dan sedang bahagia, misalnya saat baru menerima penghasilan ( pajak penghasilan ) atau memperoleh hadiah ( pajak hadiah ).
4.            Asas Eficiency. Yaitu biaya pemungutan pajak dilakukan seefisien mungkin sehingga tidak terjadi biaya administrative pemungutan pajak lebih besar daripada penerimaan pajak itu sendiri.

 Asas Pemungutan Pajak Menurut Adolf Wagner
a.             Asas Politik Finansial. Berarti pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus memadai sehingga dapat membiaya pembangunan dan mendorong perekonomian negara.
b.            Asas Ekonomi. Asas ini mengemukakan bahwa penentuan objek pajak harus tepat sasaran, seperti pada penetapan pajak pendapatan dan pajak barang mewah.
c.             Asas Keadilan. Pemungutan pajak harus berlaku secara umum, adil dan tidak diskriminatif.
d.            Asas Administrasi. Mengatur segala permasalah yang berhubungan dengan perpajakan seperti bagaimana cara membayar pajak, besar biaya pajak dan dimana tempat membayar pajak.
e.             Asas Yuridis. Yaitu segala pungutan pajak harus dilakukan berdasarkan Undang Undang.


Tarif pajak merupakan angka atau persentase yang digunakan untuk menghitung jumlah pajak atau jumlah pajak yang terutang. Ada 4 macam tarif pajak, yaitu:
a)      Tarif sebanding/proporsional. Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh : Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.
b)      Tarif tetap. Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh: Besarnya tarif Bea Meterai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp. 6.000,-
c)      Tarif progresif. Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh : pasal 17 UU PPh 1995. Jenis Tarif Progresif, yaitu sebagai berikut:
a.       Progresif-progresif; semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka besarnya persentase pajak yang dikenakan semakin meningkat dengan kenaikan persentase yang  semakin meningkat
b.       Progresif-tetap; semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka persentase pajak yang dikenakan semakin naik dengan kenaikan persentase yang  tetap
c.        Progresif-degresif; semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka persentase pajak yang dikenakan semakin naik dengan kenaikan persentase yang  semakin  menurun.
d)     Tarif Degresif. Tarif dengan persentase yang semakin menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak meningkat (naik)



Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, Hukum Pajak mempunyai kedudukan diantara hokum-hukum sebagai berikut :
  1. Hukum Perdata yaitu hokum yang mengatur hubungan antara satu individu     dengan individu lainnya.
  2. Hukum Publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum public ini terdiri dari : Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha ( Hukum Administrasi ), Hukum Pajak dan Hukum Pidana.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hokum public. Bila didefinisikan Hukum Pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyat  atau wajib pajak. Pemerintah sebagai pemungut pajak dan wajib pajak atau rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum pajak sering juga disebut dengan hukum fiscal ( Brotodihardjo,1986 ), karena istilah pajak sering disamakan dengan istilah fiscal (yang artinya kantong uang / keranjang uang yang selanjutnya disebut sebagai kas negara). Dari kata fiscal tersebut maka pihak pemerintah sebagai pemungut dan mengadministrasikan pajak disebut sebagai aparat pajak atau dalam bahasa latin disebut fiscus, dan dalam bahasa Indonesiadisebut dengan fiskus. Hal-hal yang diatur dalam hokum pajak antara lain meliputi : siapa subyek pajak atau wajib pajak, apa kewajiban wajib pajak, apa hak negara/pemerintah, apa obyek yang dikenakan pajak, berapa taripnya, bagaimana cara penagihan pajaknya, apa sanksi bila tidak memenuhi kewajiban dan lain-lain.  Hukum pajak menganut “ paham imperative “ yang artinya bahwa pelaksanaan pemungutan pajak tidak dapat ditunda. Misalnya terjadi pengajuan keberatan terhadap pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebelum ada keputusan dari Direktur Jenderal Pajak tentang keberatan tersebut diterima, maka wajib pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak sesuai dengan yang telah ditetapkan.



Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yaitu:
a)      Hukum pajak materil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan. Hukum pajak materil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain :
a.       Keadaan
b.       Perbuatan
c.        Peritiwa hukum yang dikenai pajak (Objek pajak)
d.       Siapa yang dikenakan pajak (Subjek pajak)
e.        Berapa besar pajak yang dikenakan (Tarif)
f.        Segala sesuatu yang timbul dan hapusnya utang pajak, hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak Contoh Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b)      Hukum pajak formil, memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum iini memuat antara lain: Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
a.       Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
b.      Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.



7.       PENGGOLONGAN PAJAK
Ditinjau dari cara pemungutannya, pajak dibagi menjadi dua, yaitu:
a)      Pajak langsung, adalah pajak yang dibebankan harus ditanggung oleh wajib pajak sendiri, dan tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak penghasilan, PBB, pajak perseroan, pajak kekayaan, pajak deviden, pajak bunga deposito, MPO, pajak kendaraan bermotor, dan sebagainya.
b)      Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pemungutannya dapat dialihkan kepada orang lain. Contoh: pajak penjualan, cukai, pajak tontonan, bea materai, bea masuk, pajak ekspor, pajak pertambahan nilai, bea balik nama, pajak iklan, dan sebagainya.
Ditinjau dari obyek yang dikenakan pajak, pajak dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a)      Pajak subyektif, adalah pajak yang pemungutannya berdasar atas subyeknya (orangnya), keadaan diri pajak dapat mempengaruhi jumlah yang harus dibayar. Ini bearti bahwa dalam diri subjek pajak melekat status wajib pajak apakah ia maish  bujangan atau sudah menikah atau memiliki tanggungan yang erupakan beban yang  harus dipikul dari penghaislan yang diterimanya sebelum subjelk pajaktersebut dinyatakan memenuhi syarat utnuk membayar pajak.  Contoh: pajak penghasilan, pajak kekayaan, dan sebagainya.
b)      Pajak obyektif, adalah pajak yang pemungutannya berdasar atas obyeknya. Contoh: pajak kekayaan, bea masuk, bea materai, pajak impor, pajak kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan, dan sebagainya.

Ditinjau dari siapa yang memungut pajak, jenis pajak dibagi menjadi dua, yaitu:
a)      Pajak negara, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui aparatnya, yaitu dirjen pajak, kantor inspeksi pajak yang tersebar di seluruh wilayah, dirjen bea dan cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai peneyelenggaran pemerintah dan pebangunan. Pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat adalah: pajak penghasila (PPH), pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea Matrai (BM), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan.
b)      Pajak daerah (lokal), adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan terbatas pada rakyat daerah itu sendiri, baik yang dilakukan oleh pemda tingkat I maupun pemda tingkat II.
Berdasarkan undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lembaran Negara nomor 41 tahun 1977 ditetapkan bahwa:
a.       Pajak-pajak daerah tingkat I terdiri dari:
a)      Pajak kendaraan bermotor (PKB)
b)      Bea balik nama kendraan bermotor (BBNKB)
c)      Pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB)
b.      Pajak-pajak daerah tingkat II terdiri dari:
a)      Pajak hotel dan restoran
b)      Pajak hiburan
c)      Pajak reklame
d)     Pajak penerangan jalan
e)      Pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C


Timbulnya hutang pajak dalam hukum pajak terdapat dua pendapat yaitu ajaran Materil dan Ajaran formil.  Menurut ajaran material utang pajak timbul karena undang-undang yang berlaku yaitu setelah adanya sebab-sebab yang menyebabkan subjek pajak dikenakan pajak. Menurut ajaran formil utang pajak timbul karena adanya surat ketetapan pajak yang dikeluakan oleh fiscus. Menurut ajaran ini meskipun sudah dipenuhi adanya tatbestand namun belum ada surat ketetpan pajak yang  dikeluarkan oleh fiscus maka belum ada hutang pajak. Hutang pajak timbul jika undang-undang yang menjadi dasa pungutannya telah ada dan telah dipenuhi syarat-syarat subjek dan syarat objektif, yang ditentukan oleh undang-undang secara bersama.
Syarat objektif yang dipenuhi apabila tatbestand  yang disebut UU dipenuhi dapat berupa:
a)      Perbuatan
b)      Keadaan
c)      Peristiwa
Saat timbulnya hutang pajak mempunya peranan yang menentukan dalam:
a.       Pembayaran/penagihan pajak
b.      Memasukkan surat keberatan
c.       Penentuan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa
d.      Menerbitkan surat ketetapan pajk kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan
Tindakan penagihan pajak dapat dilakukan dengan 2 langkah sebagai berikut:
1.      Penagihan secara pasif
a.       Penyerahan SKPKB, SKPKBT, dan STP
b.       Apabila belum berhasil dengan menggunakan surat tegaran
2.      Penagihan secara aktif
Penagihan dengan menggunakan surat paksa dan dilanjutkan dengan tagihan sita.


9.      PENAGIHAN HUTANG PAJAK

Penagihan Pajak menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 adalah sebagai berikut: ”Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.”
Langkah-langkah penagihan penagihan pajak adalah sebagai berikut:
  1. Surat Teguran. Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat tujuh hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran Pajak.
  1. Surat Paksa. Utang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000. Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak.
  1. Surat Sita. Utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 100.000.
  1. Lelang. Dalam jangka waktu paling singkat empat belas hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat empat belas hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan. Catatan: Barang dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000 tidak harus diumumkan melalui media massa.




10.  BEBERAPA KEWAJIBAN WAJIB PAJAK

Semua orang yang berdomisili di Indonesia dapat dijadikan sebagai subjek pajak, sedangkan yang berdomisli di luar negeri hanya dijadikan sebagai subjek pajak jika mempunyai hubungan ekonomi dengan Indonesia. Karenanya ada dua pengertian yakni kewajiban pajak subjektif dan kewajiban pajak objektif. Keduanya masing-masing baru merupakan kewajiban (secara principal) belaka. Jika seseorang sekaligus memenuhi kedua kewajiban itu, barulah ia dikenai pajak.
Prof Dr Hans Nawiaski( R Santoso Brotodiharjo, 1993) mengemukakan tiga tahap yang dikenal dengan istilah “Dreigtufigkeit”. Tiga tahap tersebut adalah:
1.      Seseorang berkewajiban secara subjektif (sama dengan berkewajiban dalam prinsip untuk membayar pajak). Ia dapat dikenakan pajak karena misalnya ia berdomisili di Indonesia.
2.      Seseorang baru berkewajiban riil membayar pajak (yaitu nyata-nyata dapat dikenakan pajak) setelah memenuhi semua persyaratan objektif.
3.      Seseorang baru berhutang pajak setelah disodori surat ketetapan pajak.

Sebagai contoh, orang yang memiliki kewajiban subjektif adalah orang yang memenuhi persyaratan tentang domisilinya yakni bertempat tinggal di Indonesia sehingga secara prinsip dapat dikenakan pajak penghasilan (poin 1 diatas). Namun kewajiban tersebut tidak otomatis, bahwa ia harus membayar pajak jika ia memenuhi persyaratan objek tertentu yakni memiliki pendapatan ditas batas minimum, barulah ia mempunyai kewajiban riil membayar pajak (poin 2).

1.      Kewajiban pajak subjektif
Kewajiban pajak subjektif adalah kewajiban yang melekat pada subjeknya pada umumnya setiap orang yang bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subjektif, anak, orang dewasa, wanita yang sudah kawin. Sedangkan untuk orang di Luar Indonesia , kewajiban subjektif ada kalau mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia , misalnya mempunyai perusahaan di Indonesia.

Kewajiban pajak subjektif dalam negeri untuk pajak penghasilan adalah:
Mulai : (1). Pada waktu seseorang dilahirkan di wilayah Indonesia, dan (2) pada waktu seseorang menetap di Indonesia
Berakhir : (1) pada waktu seseorang tersebut meninggal dunia, dan (2) pada waktu seseorang tersebut meninggalkan Negara Indonesia untuk selama-lamanya.

Kewajiban pajak subjektif luar negeri adalah sebagai berikut
Mulai : (1) Pada waktu seseorang dilahirkan di luar wilayah Indonesia dan mempunyai hubungan ekonomis tertentu dengan Indonesia menurut Undang-Undang Pajak , dan (2) pada waktu seseorang menetap di luar negeri serta mempunyai hubungan ekonomis seperti diatas.
Berakhir : (1) pada waktu hubungan ekonomis dengan Indonesia seperti disebut diatas terputus atau berakhir, (2) pada waktu seseorang tersebut menetap di Indonesia, dan (3) pada waktu seseorang tersebut meninggal dunia.

2.      Kewajiban pajak objektif
Kewajiban pajak objektif adalah kewajiban yang melekat pada objeknya, seseorang dapat dikenakan kewajiban pajak objektif jika ia mendapat penghasilan atau mempunyai kekayaan yang memenuhi syarat menurut Undang-Undang.
Sumber : Buku Perpajakan (Pembahasan Berdasarkan UU dan Aturan Pajak Terbaru(, Oleh Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein


11. PERADILAN DALAM BIDANG PAJAK
Peradilan pajak dalah upaya hukum yang dilakukan oleh wajib pajak dalam rangka mencari keadilan terhadap Ketetapan Pajak yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak atau Kepala Daerah. Peradilan Pajak dapat dibagi menjadi dua jenis peradilan, yaitu peradilan murni dan peradilan tidak murni. Penjelasanya adalah sebagai berikut :
1.      Peradilan Murni. Peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu wajib pajak, fiskus dan hakim yang mengadili. Wajib pajak dan fiskus adalah pihak yang bersengketa sedangkan hakim atau majelis hakim antara pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut.
2.      Peradilan Tidak Murni. Peradilan yang hanya melibatkan dua pihak, yaitu pihak wajib pajak dan pihak fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang bersangkutan.

Susunan pengadilan pajak terdiri atas :
1.    Pimpinan
2.    Hakim
3.    Sekretaris

Pemeriksaan Sengketa Pajak
Pengadilan pajak sebagai pengadilan pertama dan terakhir pemeriksaan sengketa pajak hanya dilakukan oleh pengadilan pajak, sehingga putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan kepengadilan umum, peradilan tatausaha Negara atau badan peradilan lain kecuali putusan berupa “tidakdapatditerima” yang menyangkut kewenangan / kompetensi.

Keberatan
Dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa wajib pajak merasa kurang atau tidakpuas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan padanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga .Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. 

Banding
Pengertian banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan perundangan pajak yang berlaku. Keputusan dimaksudkan suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang berdasarkan peraturan perundangan-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Pencabutan Banding
Banding yang telah diajukan dengan surat banding dapat diajukan pencabutan dengan surat penyataan pencabutan yang diajukan kepada pengadilan pajak. Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan diatas tidak dapat diajukan banding kembali.

Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tidajk dapat diajukan kembali. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan.

 Pelaksanaan Persidangan
Dalam pelaksanaan persidangan, ketua menunjuk majelis yang terdiri dari tiga orang hakim atau hakim tunggal untuk memeriksa dan mengurus sengketa pajak. Apabila pemeriksaanya dilakukan oleh majelis, maka ketua menunjuk salah seorang hakim tersebut sebagai hakim ketua yang memimpin pemeriksaan sengketa pajak.Majelis atau hakim tunggal bersidang pada hari yang ditentukan dan memberitahukan hari siding dimaksud kepada pihak yang bersengketa. Pemohon banding atau penggugat dapat hadir dalam persidangan dengan terlebih dahulu memberitahukan pada ketua untuk memberikan keterangan lisan.

  Pembuktian
Dalam hal pembuktian, pengadilan pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Majelis atau hakim  tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain. Alat bukti tersebut dapat berupa :
1.          Surat atau tulisan
2.          Keterangan ahli, yaitu pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya
3.          Keterangan parasaksi, dianggap sebagai barang bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi
4.          Pengakuan para pihak, tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh majelis hakim atau hakim tunggal.
5.          Pengetahuan hakim, yaitu hal yang diketahui dan diyakini kebenarannya


  Putusan
Putusan pengadilan pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan keyakinan hakim. Putusan pengadilan pajak dapat berupa :
a)    Menolak
b)    Mengabulkan sebagian atau seluruhnya
c)    Menambah pajak yang harus dibayar
d)    Tidak dapat diterima
e)    Membetulkan kesalahan teknis dan atau kesalahan hitung
f)      Membatalkan
Sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hokum tetap, maka keputusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan kepengadilan umum, peradilan tata usaha Negara, atau badan peradilan lain, kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima” yang menyangkut kewenangan / kompetensi.

 Pelaksanaan Putusan
Putusan Pengadilan Pajak ini langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali putusan perundang-undangan mengatur lain. Apabila putusan dimaksud me nyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagai contoh putusan pengadilan pajak menyebabkan Pajak Penghasilan menjadi lebih bayar. Dalam hal demikian kepada KPP masih harus menerbitkan Surat Perintah membayar kelebihan pajak (SPMKP) yang diperlukan pembayar pajak untuk dapat memperoleh kelebihan pajak.
Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh banding, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2 persen sebulan untuk paling lama 24 bulan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaannya salinan putusan atau salinan penetapan pengadilan pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh sekretaris dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal putusan pengadilan pajak diucapkan, atau dalam jangka waktu 7 hari sejak tanggal putusan diucapkan. Putusan pengadilan pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal diterima putusan. Pejabat tidak melaksanakan putusan pengadilan pajak dalam jangka waktu tersebut, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar